Seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih berumur 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tetap kelihatan tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.
Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama,
Pangeran Aria Suriaatmaja tidak menempatkannya di penjara. Melainkan
memilih menempatkannya disalah satu rumah milik tokoh agama setempat.
Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta dan menderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 06 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.
Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta dan menderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 06 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.
Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan tua itu sebelum
akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak
jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatannya
yang sangat buruk, perempuan tua nyaris tak pernah keluar rumah.
Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajari mengaji ibu-ibu
dan anak-anak setempat yang datang berkunjung.
Sesekali mereka membawakannya pakaian atau sekadar makanan pada
perempuan tua yang santun itu yang belakangan karena penguasaanya
terhadap ilmu-ilmu agama disebut dengan Ibu Perbu.
Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Batlle dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Ya, hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah air dan orang-orang yang dicintai.
Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Batlle dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Ya, hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah air dan orang-orang yang dicintai.
Gadis kecil cantik dan cerdas bernama Cut Nyak Dhien. Dilahirkan dari
keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang tahun 1848. Ayahnya
adalah Uleebalang bernama Teuku Nanta Setia yang merupakan keturunan
perantau Minang yang datang dari Sumatera Barat ke Aceh sekitar abad 18
ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.
Tumbuh dalam lingkungan yang memegang tradisi beragama yang ketat
membuat gadis kecil Cut Nyak Dhien menjadi gadis yang cerdas. Pada
usianya yang ke 12 dia kemudian dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku
Ibrahim Lamnga yang merupakan anak dari Uleebalang Lamnga XIII.
Suasana perang yang bergelanyut diatmosfir Aceh pecah ketika 1 April
1873, F.N. Nieuwenhuyzen memaklumatkan perang terhadap kesultanan Aceh.
Sejak saat itu gelombang demi gelombang penyerbuan Belanda ke Aceh
selalu berhasil dipukul kembali oleh laskar Aceh. Dan Tjoet Nyak Dhien
tentu ada disana, ditengah tebasan rencong, pekik perang dan dentuman
meriam.
Dia juga yang berteriak membakar semangat rakyat Aceh ketika Masjid Raya jatuh dan di bakar tentara Belanda.
“Rakyatku, sekalian mukmin orang-orang Aceh! Lihatlah! Saksikan dengan matamu masjid kita dibakar! tempat Ibadah kita dibinasakannya! Mereka menentang Allah! Camkanlah itu! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah memaafkan para kafir Belanda! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata!” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Perang Aceh adalah cerita tentang keberanian, pengorbanan dan kecintaan
terhadap tanah lahir, begitu juga Tjoet Nyak Dhien. Bersama ayah dan
suaminya, setiap harinya waktu dihabiskan untuk berperang, berperang dan
berperang melawan Kaphe Beulanda. Tetapi perang juga lah yang mengambil
satu-persatu orang yang dicintainya, ayahnya lalu suaminya menyusul
gugur dalam pertempuran di Glee Tarom 29 Juni 1070.
Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.
Dua tahun kemudian, Tjoet Nyak Dhien menerima pinangan Teuku Umar dengan pertimbangan strategi perang. Belakangan Teuku Umar juga gugur dalam serbuan mendadak yang dilakukan Belanda di Meulaboh, 11 Februari 1899.
Tetapi bagi Tjoet, perang melawan Belanda bukan hanya milik Teuku Umar,
Teungku Ibrahim Lamnga suaminya bukan juga monopoli Teuku Nanta Setia
ayahnya atau para lelaki Aceh saja. Perang Aceh adalah milik semesta
rakyat. Setidaknya itulah yang ditunjukan Tjoet Nyak Dhien, dia tetap
mengorganisir serangan-serangan terhadap Belanda.
Bertahun-tahun kemudian, segala energi dan pemikiaran putri bangsawan
itu hanya dicurahkan pada perang. Berpindah dari satu persembunyian ke
persembunyian yang lain, kurang makan dan kurangnya rawatan kesehatan
membuat kebugarannya merosot.
Kondisi pasukannya pun tak jauh berbeda. Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada pada 16 November 1905 sepasukan Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya, Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak.
Kondisi pasukannya pun tak jauh berbeda. Pasukan itu bertambah lemah hingga ketika pada pada 16 November 1905 sepasukan Belanda menyerbu ke tempat persembunyiannya, Tjoet Nyak Dhien dan pasukan kecilnya kalah telak.
Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.
Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor, Jauh sebelum dunia barat berkoar menyamaratakan persamaan hak yang bernama, Emansipasi.
Sumber : http://www.atjehcyber.net/2011/11/dhien-sebuah-akhir-di-tanah-sepi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar