Pernahkan anda berpikir...atau setidaknya pernah mendengar kabar bahwa Syech Siti Jenar itu fiktif, alias tidak ada orangnya. Pernahkah anda mendengar statement yang mengatakan Walisongo itu mitos?? kalau jawaban anda YA, maka ada baiknya anda menyimak entri di bawah ini. orang Indonesia itu kadang lebih percaya terhadap sejarah bangsanya yang dituturkan oleh orang Barat ketimbang oleh orang Indonesia sendiri. dan pernahkan anda tahu, bahwa kebanyakan sejarah Indonesia sangat terwarnai oleh corak Barat ( baca; Belanda). kalau ini diteruskan bisa jadi, sejarah kita akan hilang. dengan kata lain kita memang tidak pernah peduli terhadap sejarah bangsa kita sendiri. baca Api Sejarah terkait dengan sejarah bangsa, terutama peran dan kiprah umat Islam di panggung sejarah Indonesia yang tidak diceritakan.
Usai menamatkan buku Ensiklopedia Islam,
hati Agus Sunyoto tiba-tiba tersentak. Dalam buku yang diterbitkan oleh
Ikhtiar Baru Van Houve tersebut, ia sama sekali tak menemukan satu pun
kata yang menyebut Wali Songo. Ingatannya kemudian melayang kepada
sebuah buku lain berjudul Walisanga Tak Pernah Ada? karya Sjamsudduha, yang pernah dibacanya beberapa waktu sebelumnya.
“Saya pikir adalah ahistoris, kalau ndak mau
saya bilang naïf, saat kita membahas perkembangan Islam di Indonesia,
sama sekali tidak menyebut nama Wali Songo”, ujar sejarawan kelahiran Surabaya, 53 tahun yang lalu itu.
Istilah Wali Songo memang kadung dimengerti oleh
sebagian besar masyarakat Islam Indonesia hanya sebagai mitologi. Itu
setidaknya tercermin dari cerita-cerita yang berserakan di kalangan
masyarakat yang hanya mengidentikan Wali Songo dengan soal-soal karomah,
keajaiban dan realita supranatural yang kadang tidak terjangkau otak
manusia modern. Yang terjadi adalah sejarah Wali Songo jika tidak
dipuja-puja berlebihan malah dijadikan bahan ejekan oleh sebagian orang
untuk merujuk sebuah kepercayaan agama yang berbau tahayul dan tidak
rasional.
Agus tentu saja prihatin dengan kondisi seperti
itu. Dengan mengandalkan dana yang tidak besar dan didapat dari
sumbangan sanasini, ia lantas memutuskan untuk membuat sebuah
penelitian sejarah ilmiah terkait dengan Wali Songo. Beberap tahun
kemudian jadilah penelitiannya tersebut menghasilkan sebuah buku yang
diberi judul Atlas Wali Songo terbitan Pustaka Iman (Mizan Group).
Benarkah Wali Songo hanya mitos belaka? Bagaimana
sesungguhnya kisah sejarah 9 lelaki yang selama ini disebut-sebut
sebagai para pionir Islamisasi di tanah Jawa dan Nusantara itu? Kamis
sore (5/7), seusai meluncurkan buku Atlas Wali Songo di Aula
Lantai 8 Gedung PBNU Kramat, Jakarta, Agus Sunyoto menyampaikan beberapa
data sejarah yang menarik seputar Wali Songo, kepada Islam-Indonesia. Berikut petikannya:
T: Mas Agus, saya mendengar penulisan buku ini,
berawal dari “kekesalan” anda saat mengetahui sebagian masyarakat Islam
tidak mengakui eksistensi Wali Songo dalam sejarah Islam di Indonesia,
benarkah itu?
J: Kesal sih ndak. Saya cuma ingin
meluruskan bahwa kenyataan sejarah justru membuktikan bahwa setelah 800
tahun penyebaran Islam di Nusantara mengalami kemandekan dan tidak bisa
diterima secara luas. Justru di era Wali Songo-lah Islamisasi bisa
berjalan secara massif. Ini kan realitas sejarah yang membuktikan bahwa
Islamisasi itu adalah hasil jerih payah Wali Songo.
T: Memang menurut kepercayaan anda, Islam kapan sih datang ke Indonesia?
J: Sudah sejak tahun 674 Masehi, Islam sudah
menginjakkan kaki di Jawa. Itu didasarkan pada berita yang disampaikan
orang-orang Cina di era Dinasti Tang yang menyebut tentang kehadiran
orang-orang Tazhi (Arab) di Kerajaan Kalinga yang dipimpin oleh Ratu
Shima. Orang-orang Tazhi yang mayoritas adalah para pebisnis itu sangat
kagum dengan kondisi Kalinga yang walaupun belum mengenal Islam, tapi
situasinya aman sejahtera.
T: Mereka lantas menyebarkan Islam?
J: Ya, tapi bisa disebut kurang berhasil. Mengapa?
Bisa jadi itu terkait dengan cara penyampaian mereka yang kurang
memperhitungkan kondisi sosial budaya setempat, sehingga orang-orang
Jawa kurang tertarik kepada Islam. Situasi tersebut berlangsung sampai
800 tahun lamanya.
T: Kemunculan Wali Songo memecah kebuntuan tersebut?
J: Ya betul sekali. Karena Wali Songo sangat paham
dengan kultur sosial yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa menjadikan
dakwah Islam yang mereka sampaikan diterima secara baik. Mereka masuk
bisa lewat wayang, kidung-kidung lokal yang dimodifikasi dengan subtansi
Islam, ya banyaklah hal yang membuktikan bahwa dakwah yang mereka
lakukan sangat fleksibel sehingga tanpa harus kehilangan subtansinya,
orang merasa tertarik dengan Islam.
T: Jika betul Wali Songo adalah fakta sejarah, lalu mengapa muncul pendapat yang menyebut keberadaan mereka hanya mitos belaka?
J: Awalnya itu karena politik Belanda. Pasca Perang
Diponegoro (1825-1830), Belanda sangat phobi kepada hal-hal yang berbau
Islam dan tarekat. Karena itu, dimunculkanlah bahwa seolah-olah Islam
adalah kekuatan yang tak jelas asal usulnya dengan menciptakan berbagai
cerita-cerita mitos. Termasuk dengan memitoskan Wali Songo.
T: Apa usaha nyata dari Belanda untuk membuat Islam terahistorisasi di Nusantara?
J: Ada sebuah kitab yang bernama Babad Kediri.
Ini kitab dibuat tahun 1832, dua tahun setelah Perang Diponegoro
berakhir. Ceritanya, seorang jaksa pribumi bernama Porbowijoyo mendapat
proyek dari Residen Kediri yang Belanda totok untuk membuat sebuah
cerita yang mengecilkan peran Wali Songo. Lantas sang jaksa membayar
seorang dalang yang entah bagaimana ia lalu kesurupan. Dalam situasi
“kesurupan” itulah, si dalang meracau. Isinya bercerita tentang sejarah
Kediri dan pendeskreditan Sunan Bonang, Sunan Giri dan sunan-sunan
lainnya. Isi racauan inilah yang kemudian dicatat oleh sang jaksa dan
dijadikan kitab berjudul Babad Kediri.
T: Saya heran, mengapa justru cerita versi orang kesurupan ini, bisa lolos dalam sejarah kita?
J: Ya para sejarawan kita kan umumnya didikan
Belanda. Yang kata Belanda benar, ya benar juga kata mereka. Termasuk
racauan orang kesurupan kalau datangnya dari Leidenya itu jadi sejarah.
T: Beralih kepada konflik Syeikh Siti Jenar vs Wali Songo, itu benar-benar terjadi?
J: Sebetulnya sih yang berkonflik itu bukan Syeikh
Siti Jenar lawan Wali Songo, tapi Siti Jenar vs Sultan Trenggono,
anaknya Raden Patah yang pendiri Kesultanan Demak itu. Ceritanya, Siti
Jenar yang didikanBaghdad(di Baghdad hubungan penguasa dan rakyat sangat
egaliter) itu merasa jengah melihat orang-orang Jawa begitu feodalnya
hingga memperlakukan para penguasanya layaknya Tuhan. Sebagai contoh,
kalau menghadap raja, rakyat harus sujud. Lalu kata “ing sun” yang
artinya aku hanya berhak diucapkan oleh raja, rakyat hanya boleh memakai
kata “kawulo” yang artinya budak. Nah Syeikh Siti Jenar merasa prilaku
itu “mengotori” ketauhidan seorang muslim. Ia lantas mbalelo
(berontak). Caranya, dengan secara sengaja mempraktekan kata “ing sun”
untuk dirinya dan para pengikutnya serta menolak mentah-mentah untuk
bersujud kepada raja. Dalam perspektif politik Sultan Trenggono ini
jelas subversiv dong. Maka dikejar-kejarlah dia sebagai musuh negara dan
agama.
T: Katanya Syeikh Siti Jenar tertangkap lantas dipancung?
J: Ah enggak benar itu. Pemancungan itu cuma mitos
saja. Yang benar adalah Syeikh Siti Jenar lantas disembunyikan oleh
Sunan Gunung Jati, hingga ia wafat biasa di Cirebon. Lha dia kan orang
Cirebon.
T: Terakhir nih Mas, orang kita biasanya kalau
menganalisa sejarah menggunakan konsep mitos-logos yang dipakai oleh
para bule untuk menganalisa sejarah mereka, dalam kasus Wali Songo ini
menurut saya tentunya tidak tepat menggunakan konsep itu sebagai pisau
analisa. Bagaimana menurut Mas Agus?
J: Mitos logos itu kan produk modernisme. Sangat
tidak relefan jika itu dipakai sebagai pisau untuk menganalisa sejarah
kita yang pemahamannya sering berbeda dengan Barat. Jika dipaksakan kita
akan menjadi orang-orang yang disebut Derrida (maksudnya Jacques
Derrida, filsuf post modernisme asal Prancis) sebagai korban
logosentrisme.[Islam-Indonesia/hendijo]
Hanya muqollid wahabi saja yang suka bilang Walisongo tidak ada. Hanya untuk mengaburkan sejarah. Ini buktinya: Wahabi Bohong Bilang Walisongo Tidak Ada
BalasHapus