Drama percintaan beda usia rupanya tengah menjadi tren dalam perfilman Thailand. Setelah '30 and Fabulous', kali ini hadir 'First Kiss'. Masih dengan mood yang sama seperti film-film komedi romantis Thailand umumnya yang 'lugu' dan menyenangkan, film ini menawarkan keharuan yang maksimal dan meninggalkan kesan yang cukup mendalam. Istri saya aja sampai berlinang air mata. Oh..so sweet !!
Tak ada dramatisasi yang berlebihan atas seorang tokoh yang mengidap penyakit mematikan, divonis dokter hidupnya tinggal sebentar, lalu meninggalkan pacarnya begitu saja, dan 'mengirim' sahabanya untuk menggantikan dirinya di hati sang pacar. Sebaliknya, 'First Kiss' sangat sederhana, namun dibangun dengan sabar dan intens sehingga ketika mencapai klimaks, efek yang didapatkan sesuai harapan.
Cerita film ini dikisahkan lewat narasi tokoh utamanya, Sa (Kaneungnich Jaksamithanon), seorang wanita pekerja berusia 25 tahun. Ia mengawali narasinya dengan pernyataan yang mengumpamakan cinta dengan kegiatan menunggu bus. ( Love is like a waiting for the bus ) Kadang yang lewat bukanlah jurusan yang kita inginkan. Namun, ketika sudah mendapatkan yang sesuai keinginan pun, bukan berarti di perjalanan tak ada rintangan.
Bus memang menjadi hal penting bagi film ini, dan film ini memang kisah cinta Su. Waktu SMA, ia jatuh cinta pada temannya yang bernama Ohm. Tapi pria itu jatuh cinta pada perempuan lain, dan melanjutkan kuliah ke luar negeri bersamanya. Sejak itu, Sa patah hati dan tak lagi memikirkan cinta. Sampai akhirnya sebuah insiden di bus mengubah segalanya.
Su yang percaya bahwa ciuman pertama menentukan kisah cinta selanjutnya, pada suatu malam ketika ketiduran di bus, tanpa sengaja berciuman dengan seorang cowok SMA yang duduk di sisinya. Su marah dan menganggap anak itu telah mencuri ciuman pertamanya. Su tak mau anak itu akan mengisi kisah cintanya. Yang bener saja, pacaran sama anak SMA!
Tapi, Hukum Ciuman Pertama rupanya benar-benar bekerja pada Su. Insiden ciuman di bus dengan anak SMA itu membuat handphone-nya hilang. Untung dia sempat mengenali nama dan lokasi sekolah anak itu. Ia pun melabraknya ke sekolahan dan melaporkan anak itu kepada kepala sekolah dengan tuduhan mencuri handphone. Pertemuan kembali di ruang kepala sekolah itu menjadi tongak babak baru hubungan mereka.
Konyol, lucu, sekaligus mengharukan menyaksikan bagaimana Bass (Pichasini Tanwiboon), anak SMA yang awalnya memanggil Su dengan sapaan 'tante' itu kemudian benar-benar menjadi pacarnya. Perbedaan usia yang sangat jauh melahirkan keharuan lain, misalnya, bagaimana Su dengan sabar membantu Bass mengerjakan PR layaknya ibu kepada anaknya.
Konflik mulai muncul ketika Ohm, pria yang ditaksir Su waktu SMA dulu, kembali dari kuliahnya di luar negeri, dan mulai mendekati Su. Bass yang dibakar cemburu tertantang untuk bersaing merebut hati Su. Tapi, bagaimana seorang cowok 18 tahun yang masih labil dan egois itu bisa memenangkan hati Su?
Karya sutradara Kirati Nakintanon ini diputar di Blitz Megaplex sejak 25 April lalu, namun masih bertahan sampai sekarang, dengan jumlah penonton yang tak pernah mengecewakan setiap kali show. Apa rahasianya? Dari awal, film ini nyaris tak menjanjikan. Namun, makin ke tengah semakin menarik untuk diikuti, dengan humor yang pas, dan alur yang tak neko-neko. Perkembangan perasaan tokoh-tokohnya, yang masing-masing dimainkan dengan baik oleh para pemerannya, menjadi kekuatan utama.
Perkembangan perasaan terutama pada Su dan Bass berhasil mengaduk-aduk emosi penonton. Berjalan dalam durasi sepanjang 90 menit, film ini dengan tempo yang terjaga mengikuti liku-liku perjalanan hubungan cinta beda usia yang tentu banyak rintangan itu. Semua dibangun dengan wajar, teliti, tabah sehingga penonton diyakinkan untuk bersimpati pada Su, ketika dia harus menghadapi berbagai persoalan yang muncul dari hubungannya dengan cowok yang masih berseragam sekolah. Sehingga, ketika akhir kisah cinta itu tiba, impresi yang muncul terasa benar-benar klimaks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar