Beberapa hari ini media cetak dan elektronik santer memberitakan tentang isu mobil nasional, bersamaan dengan diluncurkannya mobil kiat esemka produksi anak SMK 2 Solo. Isu ini menjadi lebih hangat dengan digunakannya mobil tersebut oleh salah satu orang nomor 1 di Solo, siapa lagi kalau bukan bang Jokowi. hehehe seperti yang sudah saya prediksi bakalan muncul pro kontra yang akan meramaikan jagad berita di negeri ini. sebut saja tanggapan Bibit Waluyo yang terkesan 'meremehkan' keputusan Jakowi mengganti mobil camrynya dengan mobnas bikinan anak-anak SMK tersebut.
Saya sendiri termasuk salah satu orang yang sangat senang dan gumbira dengan kemunculan kiat esemka ini dan mimpi lama saya kembali terusik. Kalau boleh saya ngomong mimpi punya Mobil Nasional adalah seperti mimpi di siang bolong, betapa tidak, banyaknya eskalasi dan kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif (baca; dunia persilatan kepentingan kapitalis dan beberapa gelintir orang negeri ini) untuk mengimplementasikan kebanggaan nasional tersebut, menyebabkan makin banyak saja aral yang melintang, sehingga Mobil Nasional tetap seperti mimpi yang akan terus mengawang-ngawang entah sampai kapan. ( tapi kita tetap harus optimis...sesulit apapun aral yang melintang jika kita punya keinginan kuat mesti bisa teratasi!)
Menilik ke belakang, wacana mulia itu sudah sejak lama didengungkan dan sudah tak terhitung eksperimen-eksperimen yang dilakukan, sejak rezim Soeharto dulu dengan mobil Timornya yang harus takluk karena pergantian rezim, kemudian Mobil Maleo karya PT. IPTN yang hanya menjadi rancangan sia-sia, hingga yang teranyar Mobil jenis Double Gardan Esemka Digdaya yang “menghebohkan”, karena menjadi pertentangan seru di media-media antara Gubernur Jateng dan Walikota Solo.
Impian memiliki mobil nasional (mobnas), sebenarnya bukan perkara yang terlalu sulit untuk diwujudkan, buktinya untuk mobil yang termasuk “high”, kini mampu dirakit dengan sangat sempurna oleh “hanya” siswa-siswa SMKN I Singosari Malang. Bahkan dikabarkan akan menyusul dipasarkan mobil-mobil buatan nasional lainnya, seperti Mobil Marlip hasil karya LIPI, Mobil Gea yang disponsori oleh PT. INKA, Tawon produksi PT. Super Gasindo Indonesia Jaya, sampai mobil berjenis offroad juga ada, yaitu mobil Komodo yang digadang-gadang akan menjadi mobil “andalan” Indonesia karena kemampuan bermanuvernya yang menakjubkan.
Potensi lainnya adalah sampai saat ini Indonesia telah mampu menelurkan 20 industri perakitan, bahkan enginer-enginer Indonesia telah diakui dunia karena dianggap lebih mumpuni dalam hal merakit. Buktinya Indonesia sukses mengekspor 60.000 unit mobil rakitannya sepanjang tahun 2011 yang lalu.
Belum lagi kalau berbicara soal material pembuat mobil, Indonesia adalah surganya. Di sini bercokol pabrik baja terbesar di dunia (PT. Krakatau Steel), perkebunan karet yang melimpah dan selalu siap menyuplai kebutuhan pembuatan ban mobil, serta pabrik kaca yang tak terhitung jumlahnya.
Lalu mengapa untuk “sekedar” memiliki Mobil Nasional sepertinya sangat mustahil untuk diwujudkan ?
PERTAMA, Potensi Indonesia sebagai pangsa pasar industri otomotif terbesar di dunia, menjadikannya sebagai peluang sekaligus ancaman. Disebut Peluang, karena Indonesia tak perlu susah-susah untuk memasarkan produksinya sendiri, karena pasar dalam negeri sudah siap menyerapnya. Ancaman, karena tidak mungkin pabrikan-pabrikan raksasa di negeri Sakura maupun industri otomatif di Korea dan Eropa, “merelakan begitu saja pangsa pasar empuknya untuk lepas begitu saja.
Soal ancaman ini saya dengar langsung dari seorang pengusaha Korea yang mengatakan bahwa para pembuat mobil ternama di Jepang dan Korea, sudah sejak lama melakukan politik penetrasi dengan cara “menggandeng” beberapa pengusaha-pengusaha besar di Indonesia dan beberapa pejabat negara untuk sedapat mungkin meredam kemunculan mobil nasional tersebut. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga eksistensi pasar yang menggiurkan tersebut untuk tetap berada di genggaman mereka.
KEDUA, adanya stereotip yang terlanjur berkembang di masyarakat, bahwa produksi dalam negeri, tak terkecuali mobil nasional, mempunyai standart keamanan, kenyamanan dan kualitas yang sangat-sangat rendah. Sikap stereotip yang negatif tersebut, sebenarnya dapat dicegah atau setidaknya diminimalisir, jika pemerintah dan tokoh-tokoh nasional termasuk artis idola masyarakat, memberikan contoh dengan ikut memakai mobil nasional tersebut.
Masih kentalnya nuansa “ikut-ikutan” dengan yang diidolakannya di masyarakat kita, setidaknya harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk meningkatkan animo masyarakat menggunakan mobil nasional tersebut. Dalam hal ini walikota solo, bapak Joko Widodo telah menjadi pionir dengan keputusannya mengganti mobil chamry-nya dengan mobil besutan anak-anak SMK tersebut.
KETIGA, Political will atau sikap pemerintah untuk mendukung mobil nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri sangat kurang, salah satu contoh nyatanya adalah sikap Gubernur Jawa Tengah, bapak Bibit Waluyo yang secara terang-terangan “menolak” dan merendahkan hasil karya anak bangsa tersebut.
Mobil Nasional Esemka Digdaya hanya akan memperpanjang daftar kegagalan mobil nasional, jika beberapa faktor-faktor penghambat tersebut di atas dan faktor-faktor lainnya yang mungkin belum sempat terfikir oleh saya, tidak segera kita benahi. Namun yang tidak kalah penting adalah kesadaran kita semua untuk bersedia memakai mobil nasional tersebut dengan “segala kekurangannya” sebagai salah satu wujud nasionalisme dan kecintaan kita terhadap bangsa Indonesia ini.
Jika bukan kita, siapa lagi ? Jika bukan sekarang, kapan lagi ?
Saya sendiri termasuk salah satu orang yang sangat senang dan gumbira dengan kemunculan kiat esemka ini dan mimpi lama saya kembali terusik. Kalau boleh saya ngomong mimpi punya Mobil Nasional adalah seperti mimpi di siang bolong, betapa tidak, banyaknya eskalasi dan kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif (baca; dunia persilatan kepentingan kapitalis dan beberapa gelintir orang negeri ini) untuk mengimplementasikan kebanggaan nasional tersebut, menyebabkan makin banyak saja aral yang melintang, sehingga Mobil Nasional tetap seperti mimpi yang akan terus mengawang-ngawang entah sampai kapan. ( tapi kita tetap harus optimis...sesulit apapun aral yang melintang jika kita punya keinginan kuat mesti bisa teratasi!)
Menilik ke belakang, wacana mulia itu sudah sejak lama didengungkan dan sudah tak terhitung eksperimen-eksperimen yang dilakukan, sejak rezim Soeharto dulu dengan mobil Timornya yang harus takluk karena pergantian rezim, kemudian Mobil Maleo karya PT. IPTN yang hanya menjadi rancangan sia-sia, hingga yang teranyar Mobil jenis Double Gardan Esemka Digdaya yang “menghebohkan”, karena menjadi pertentangan seru di media-media antara Gubernur Jateng dan Walikota Solo.
Impian memiliki mobil nasional (mobnas), sebenarnya bukan perkara yang terlalu sulit untuk diwujudkan, buktinya untuk mobil yang termasuk “high”, kini mampu dirakit dengan sangat sempurna oleh “hanya” siswa-siswa SMKN I Singosari Malang. Bahkan dikabarkan akan menyusul dipasarkan mobil-mobil buatan nasional lainnya, seperti Mobil Marlip hasil karya LIPI, Mobil Gea yang disponsori oleh PT. INKA, Tawon produksi PT. Super Gasindo Indonesia Jaya, sampai mobil berjenis offroad juga ada, yaitu mobil Komodo yang digadang-gadang akan menjadi mobil “andalan” Indonesia karena kemampuan bermanuvernya yang menakjubkan.
Potensi lainnya adalah sampai saat ini Indonesia telah mampu menelurkan 20 industri perakitan, bahkan enginer-enginer Indonesia telah diakui dunia karena dianggap lebih mumpuni dalam hal merakit. Buktinya Indonesia sukses mengekspor 60.000 unit mobil rakitannya sepanjang tahun 2011 yang lalu.
Belum lagi kalau berbicara soal material pembuat mobil, Indonesia adalah surganya. Di sini bercokol pabrik baja terbesar di dunia (PT. Krakatau Steel), perkebunan karet yang melimpah dan selalu siap menyuplai kebutuhan pembuatan ban mobil, serta pabrik kaca yang tak terhitung jumlahnya.
Lalu mengapa untuk “sekedar” memiliki Mobil Nasional sepertinya sangat mustahil untuk diwujudkan ?
PERTAMA, Potensi Indonesia sebagai pangsa pasar industri otomotif terbesar di dunia, menjadikannya sebagai peluang sekaligus ancaman. Disebut Peluang, karena Indonesia tak perlu susah-susah untuk memasarkan produksinya sendiri, karena pasar dalam negeri sudah siap menyerapnya. Ancaman, karena tidak mungkin pabrikan-pabrikan raksasa di negeri Sakura maupun industri otomatif di Korea dan Eropa, “merelakan begitu saja pangsa pasar empuknya untuk lepas begitu saja.
Soal ancaman ini saya dengar langsung dari seorang pengusaha Korea yang mengatakan bahwa para pembuat mobil ternama di Jepang dan Korea, sudah sejak lama melakukan politik penetrasi dengan cara “menggandeng” beberapa pengusaha-pengusaha besar di Indonesia dan beberapa pejabat negara untuk sedapat mungkin meredam kemunculan mobil nasional tersebut. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga eksistensi pasar yang menggiurkan tersebut untuk tetap berada di genggaman mereka.
KEDUA, adanya stereotip yang terlanjur berkembang di masyarakat, bahwa produksi dalam negeri, tak terkecuali mobil nasional, mempunyai standart keamanan, kenyamanan dan kualitas yang sangat-sangat rendah. Sikap stereotip yang negatif tersebut, sebenarnya dapat dicegah atau setidaknya diminimalisir, jika pemerintah dan tokoh-tokoh nasional termasuk artis idola masyarakat, memberikan contoh dengan ikut memakai mobil nasional tersebut.
Masih kentalnya nuansa “ikut-ikutan” dengan yang diidolakannya di masyarakat kita, setidaknya harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk meningkatkan animo masyarakat menggunakan mobil nasional tersebut. Dalam hal ini walikota solo, bapak Joko Widodo telah menjadi pionir dengan keputusannya mengganti mobil chamry-nya dengan mobil besutan anak-anak SMK tersebut.
KETIGA, Political will atau sikap pemerintah untuk mendukung mobil nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri sangat kurang, salah satu contoh nyatanya adalah sikap Gubernur Jawa Tengah, bapak Bibit Waluyo yang secara terang-terangan “menolak” dan merendahkan hasil karya anak bangsa tersebut.
Mobil Nasional Esemka Digdaya hanya akan memperpanjang daftar kegagalan mobil nasional, jika beberapa faktor-faktor penghambat tersebut di atas dan faktor-faktor lainnya yang mungkin belum sempat terfikir oleh saya, tidak segera kita benahi. Namun yang tidak kalah penting adalah kesadaran kita semua untuk bersedia memakai mobil nasional tersebut dengan “segala kekurangannya” sebagai salah satu wujud nasionalisme dan kecintaan kita terhadap bangsa Indonesia ini.
Jika bukan kita, siapa lagi ? Jika bukan sekarang, kapan lagi ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar