Jepang pasca stunami 2011 |
Ada yang membuat saya miris sekaligus tergetar ketika mengikuti perjalanan Jepang menghadapi musibah beruntun dimulai dari gempa bumi, stunami dan kebocoran pada PLTNnya. Berawal ketika gempa mengguncang kita bisa saksikan mereka sangat tenang, tidak kelihatan gugup atau ketakutan. Bahkan ketika saya membuka Youtube tentang video-video seputar rescue terhadap penduduk ketika stunami melanda serta sikap masyarakat jepang ketika antre menaiki tangga gedung dengan sangat tertib tidak ada satupun yang saling serobot, apalagi saling sikut. Tidak hanya itu, di sana tidak kita dapati rebutan bantuan sembako (kayak negeri kita) mereka tetap sabar dalam kekurangan yang mendera. Harga kebutuhan pokok juga terkendali dengan sangat baik (berbeda jauh dengan negeri kita yach...keadaan seperti ini malah digunakan sebagian orang untuk meraup 'durian runtuh'...hik..hik..hik . nangis.com)
Itu sungguh perspektif sekaligus pelajaran berharga buat kita. Bencana berarti membuat keadaan tak normal. Bencana juga berarti keterbatasan. Pasokan barang dan jasa berkurang karena bencana. Keseimbangan pasar terganggu. Para penyedia barang dan jasa akan memanfaatkan kesempatan menaikkan harga. Pedagang, tukang ojek, dan penyedia jasa lain. Kapan lagi dapat durian runtuh?
Di Jepang tidak begitu. Tak ada yang mengambil kesempatan buat pribadi dalam duka bersama. Pepatah ‘mengail di air keruh’ tak berlaku di sana. Bahkan, dipandang amoral. Sebaliknya, mereka justru menjaga tegak martabat diri. Di tengah situasi sangat sulit, tak ada yang menjarah. Untuk mendapat sedikit kebutuhan, mereka tetap tertib antre. Aib untuk mencoba memotong barisan.
Sedih tentu. Siapa tak terluka kehilangan segala? Bahkan, kehilangan sanak saudara. Tapi, semua mencoba tetap tegar. Mereka menolak ‘menjual sedih’. Media setempat tak banyak mengekspos kesedihan. Sebaliknya, justru menunjukkan upaya bangkit. Sebuah pertandingan sepak bola internasional tetap digelar. Komitmen untuk investasi di Indonesia pun tak direvisi. Meskipun babak belur, Jepang berusaha keras untuk normal. Spirit itu yang membuat mereka cepat bangkit.
Jepang selalu menjadikan petaka sebagai pelajaran. Petaka adalah kesempatan merevisi kesalahan. Kesempatan meningkatkan diri menjadi lebih baik. Pada pertengahan abad 19, bangsa Jepang, yang telah disatukan oleh Hideyoshi Toyotomi tiga abad sebelumnya, tercengang. ‘Kapal Hitam’ Amerika Serikat telah bersauh di Jepang dan mengarahkan moncong meriamnya ke Tokyo. Buat mereka, ‘kalah’ dari bangsa lain adalah petaka.
Mereka tak membiarkan itu terjadi. Petaka ‘Kapal Hitam’ dipakai untuk melecut diri: mentransformasi total budaya dan peradabannya agar bermartabat di kancah dunia. Untuk itu, Jepang bermetamorfosa melalui Restorasi Meiji yang diawali tahun 1868. Hasilnya adalah Jepang baru yang kuat, yang mengalahkan Rusia pada 1905.
Kalah telak di Perang Dunia II tahun 1945 pun menjadi momentum menata diri. Ego kebangsaan berlebihan mereka singkirkan. Sikap chauvinistis terbukti telah melahirkan arogansi membuta. Itu membuat Jepang salah jalan. Hasilnya, Jepang dihajar bom atom. Bom yang mendorong Jepang mengubah diri menjadi lebih rendah hati, lebih bekerja keras, dan lebih disiplin menjadi bangsa pembelajar. Prinsip kaizen dijalankan secara ketat hingga menjadi Jepang yang perkasa lagi di dunia.
Gempa besar yang meluluhlantakkan dan membakar Kobe tahun 1999 juga tak dibiarkan sekadar menjadi catatan sejarah. Mereka belajar keras dari tragedi itu. Hasilnya, sekarang dunia tercengang melihat gedung-gedung pencakar langit Jepang. Gedung-gedung itu tak runtuh digoyang gempa mendekati kekuatan 9 pada Skala Richter. Gedung-gedung itu berayun bagai pohon diterpa angin. Kemampuan yang belum dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia.
Tsunami 2011 pekan lalu memang meluluhlantakkan kawasan pantai timur Jepang Utara. Tapi, Jepang pasti akan belajar dari tragedi ini. Belajar untuk lebih melindungi warga dari ancaman tsunami lagi pada masa mendatang. Belajar untuk lebih mampu mengamankan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Belajar untuk lebih efektif mengembangkan teknologi energi terbarukan.
Kapasitas belajar itu tak lepas dari sikap mereka yang menjunjung tinggi integritas. Menlu Jepang mundur karena menerima uang Rp 27 juta saja. Padahal, uang itu bukan buat pribadi, melainkan sebagai donasi politik. Kedisiplinan menjaga tegak integritas yang kini belum terwujud di sini. Integritas, etos, hingga penerapan ketat prinsip kaizen itulah yang membuat Jepang luar biasa.
Saat ini, kita belum menjadi bangsa seperti itu. Kita masih menjadi bangsa yang suka menakut-nakuti diri sendiri. Mulai dari urusan pocong hingga kemungkinan bahaya PLTN. Padahal, terbukti korban PLTN Jepang kalah jauh dibanding tragedi Gunung Merapi. Kita masih suka mengecam bahkan menyerang satu sama lain. Maka, tragedi menyedihkan ‘bom buku’ di Utan Kayu, Jakarta, masih terjadi. Kita masih suka korupsi dan hormat pada pejabat yang suka memberi uang. Itu yang membuat bangsa, yang sudah hampir tiga perempat abad merdeka ini, belum cukup bermartabat.
Fenomena Jepang, yang kita tengok kembali karena tragedi tsunami, semestinya membuat bangsa ini belajar. Belajar bagaimana kita menjadi bangsa yang berintegritas teguh, beretos kuat, dan pembelajar yang disiplin. Itu yang akan membuat kita menjadi bangsa bermartabat. Bangsa yang seperti Jepang, diakui bangsa-bangsa lain sebagai bangsa luar biasa.
Itu sungguh perspektif sekaligus pelajaran berharga buat kita. Bencana berarti membuat keadaan tak normal. Bencana juga berarti keterbatasan. Pasokan barang dan jasa berkurang karena bencana. Keseimbangan pasar terganggu. Para penyedia barang dan jasa akan memanfaatkan kesempatan menaikkan harga. Pedagang, tukang ojek, dan penyedia jasa lain. Kapan lagi dapat durian runtuh?
Di Jepang tidak begitu. Tak ada yang mengambil kesempatan buat pribadi dalam duka bersama. Pepatah ‘mengail di air keruh’ tak berlaku di sana. Bahkan, dipandang amoral. Sebaliknya, mereka justru menjaga tegak martabat diri. Di tengah situasi sangat sulit, tak ada yang menjarah. Untuk mendapat sedikit kebutuhan, mereka tetap tertib antre. Aib untuk mencoba memotong barisan.
Sedih tentu. Siapa tak terluka kehilangan segala? Bahkan, kehilangan sanak saudara. Tapi, semua mencoba tetap tegar. Mereka menolak ‘menjual sedih’. Media setempat tak banyak mengekspos kesedihan. Sebaliknya, justru menunjukkan upaya bangkit. Sebuah pertandingan sepak bola internasional tetap digelar. Komitmen untuk investasi di Indonesia pun tak direvisi. Meskipun babak belur, Jepang berusaha keras untuk normal. Spirit itu yang membuat mereka cepat bangkit.
Jepang selalu menjadikan petaka sebagai pelajaran. Petaka adalah kesempatan merevisi kesalahan. Kesempatan meningkatkan diri menjadi lebih baik. Pada pertengahan abad 19, bangsa Jepang, yang telah disatukan oleh Hideyoshi Toyotomi tiga abad sebelumnya, tercengang. ‘Kapal Hitam’ Amerika Serikat telah bersauh di Jepang dan mengarahkan moncong meriamnya ke Tokyo. Buat mereka, ‘kalah’ dari bangsa lain adalah petaka.
Mereka tak membiarkan itu terjadi. Petaka ‘Kapal Hitam’ dipakai untuk melecut diri: mentransformasi total budaya dan peradabannya agar bermartabat di kancah dunia. Untuk itu, Jepang bermetamorfosa melalui Restorasi Meiji yang diawali tahun 1868. Hasilnya adalah Jepang baru yang kuat, yang mengalahkan Rusia pada 1905.
Kalah telak di Perang Dunia II tahun 1945 pun menjadi momentum menata diri. Ego kebangsaan berlebihan mereka singkirkan. Sikap chauvinistis terbukti telah melahirkan arogansi membuta. Itu membuat Jepang salah jalan. Hasilnya, Jepang dihajar bom atom. Bom yang mendorong Jepang mengubah diri menjadi lebih rendah hati, lebih bekerja keras, dan lebih disiplin menjadi bangsa pembelajar. Prinsip kaizen dijalankan secara ketat hingga menjadi Jepang yang perkasa lagi di dunia.
Gempa besar yang meluluhlantakkan dan membakar Kobe tahun 1999 juga tak dibiarkan sekadar menjadi catatan sejarah. Mereka belajar keras dari tragedi itu. Hasilnya, sekarang dunia tercengang melihat gedung-gedung pencakar langit Jepang. Gedung-gedung itu tak runtuh digoyang gempa mendekati kekuatan 9 pada Skala Richter. Gedung-gedung itu berayun bagai pohon diterpa angin. Kemampuan yang belum dimiliki bangsa-bangsa lain di dunia.
Tsunami 2011 pekan lalu memang meluluhlantakkan kawasan pantai timur Jepang Utara. Tapi, Jepang pasti akan belajar dari tragedi ini. Belajar untuk lebih melindungi warga dari ancaman tsunami lagi pada masa mendatang. Belajar untuk lebih mampu mengamankan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Belajar untuk lebih efektif mengembangkan teknologi energi terbarukan.
Kapasitas belajar itu tak lepas dari sikap mereka yang menjunjung tinggi integritas. Menlu Jepang mundur karena menerima uang Rp 27 juta saja. Padahal, uang itu bukan buat pribadi, melainkan sebagai donasi politik. Kedisiplinan menjaga tegak integritas yang kini belum terwujud di sini. Integritas, etos, hingga penerapan ketat prinsip kaizen itulah yang membuat Jepang luar biasa.
Saat ini, kita belum menjadi bangsa seperti itu. Kita masih menjadi bangsa yang suka menakut-nakuti diri sendiri. Mulai dari urusan pocong hingga kemungkinan bahaya PLTN. Padahal, terbukti korban PLTN Jepang kalah jauh dibanding tragedi Gunung Merapi. Kita masih suka mengecam bahkan menyerang satu sama lain. Maka, tragedi menyedihkan ‘bom buku’ di Utan Kayu, Jakarta, masih terjadi. Kita masih suka korupsi dan hormat pada pejabat yang suka memberi uang. Itu yang membuat bangsa, yang sudah hampir tiga perempat abad merdeka ini, belum cukup bermartabat.
Fenomena Jepang, yang kita tengok kembali karena tragedi tsunami, semestinya membuat bangsa ini belajar. Belajar bagaimana kita menjadi bangsa yang berintegritas teguh, beretos kuat, dan pembelajar yang disiplin. Itu yang akan membuat kita menjadi bangsa bermartabat. Bangsa yang seperti Jepang, diakui bangsa-bangsa lain sebagai bangsa luar biasa.
sumber : Republika, 18 Maret 2011, http://moeflich.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar