Bersambung ke bagian III
Meski sudah bersikap menyebalkan, Puspita tidak berhasil membuat Idan
marah. Pria itu malah bersikap sangat manis.
Cerita lalu:
Setelah Kau Menikahiku (Bagian I)
Setelah Kau Menikahiku (Bagian II)
Wajah Idan benar-benar merah sekarang. “Upit! Jangan main-main denganku!
Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu menghukumku dengan
cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi setengah jam
lagi.”
“Aku bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi”
“Oke. Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan
cokelat sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar
dan melar….”
“Idan!” jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia
terlambat mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri
t-shirtnya. Aku lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri
ke ranjang, sesenggukan.Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut
sekali. Ia seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama
sekali, asing dan mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku
terus menangis hingga tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat
memaksaku tertidur kelelahan.
Sorenya aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi
memancing.Memikirkan bahwa ia pergi sementara aku masih menangis karena
kata-kata kasarnya membuatku makin marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada
pilihan lain kecuali meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku.
Maka selesai mandi aku segera memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor.
Saat itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak
ia memasuki pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku
dari pintu kamar yang terkuak.
“Apa-apaan ini, Pit? ” tanyanya.
“Aku pulang ke rumah Ibu.”
Ia masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. “Semudah
ini kau menyerah?”
“Ini di luar dugaanku.”
“Apa?”
“Aku tidak mengira aku menikahi monster.”
Idan terdiam, menunduk.
“Aku…,” katanya lirih. “Aku bawa pizza kesukaanmu.”
“Aku sudah terlalu gemuk.” Ia menggeleng dengan ekspresi bersalah,
”Tidak. Kau cantik.”
“Aku tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti apa-apa.”
“Aku sudah mencoba jadi suami yang baik.”
“Kau gagal.”
“Setidaknya aku mencoba. Kau … kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita berhasil….”
“Simulasi.”
Ia menghela napas panjang dan mengangguk singkat. “Simulasi.”
“Kau salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar
terlalu banyak. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan
menikah. Aku tidak suka menikah. Apalagi denganmu.”
Ia tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari
kamarku,aku ambruk ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur
berkeping-keping. Aku tak pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat
ini. Lama kemudian. setelah aku bisa sedikit menguasai diri, aku
bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret koporku keluar.
“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda,” suara Idan menyambutku.
“Terlalu lama,” gumamku. “Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu.”
Aku tak peduli hujan yang serta merta mengguyurku basah kuyup saat aku
membuka pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada
dibenakku. Dan ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air
hujan hanya lima puluh meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa
hingga aku keluar dari mobil dan menendang pintunya, meninju atapnya ,
air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut
kunci mobilku dan mengunci mobil itu dari luar.
“Ayo pulang,” katanya.
Aku menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia
membopongku sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan
diri. Setiba di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.
“Ganti bajumu,” katanya.
“Semua bajuku di dalam kopor.”
“Ambil bajuku.”
“Tidak akan pernah!”
Ia mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata
berkobar,”Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!”
“Monster,” desisku.
Malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan
nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet
penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa
keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke
rumah orang tuaku. Setel ah itu semuanya kabur.
Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku
terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku,
sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba ters
entak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah
membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari
tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api
dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya
matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dar i rumpun di
luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.
“Ibu.”
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia
menghampiriku.“Bagaimana? Sudah enakan?”
“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku
bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa
pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
“ Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”
Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang
paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku
berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali
belum siap untuk bicara lagi dengannya. “Bagaimana, Bu?” tanyanya,
suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di
dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia
menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan
tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
“Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya
sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.”
Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan
berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia
bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”
Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan
kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit.
Apa kau tidak capai?”
“Saya pakai baterai Energizer, Bu.”
Ibu tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Ka lau kau
sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”
Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”
Alangkah klisenya!
Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”
“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”
“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa
obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri
saja apa yang dia mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”
“Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk
untuknya.
Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku.
Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin
menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang
membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa
membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua
penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
Aku membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak
saat ia mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.
Aku memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya
lagi, karena aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah
berapa belas kali. Aku memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum ,
merebuskan mi instan yang tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang ke
lantai, mengupaskan apel yang kubiarkan di meja hingga berubah coklat
dan memasakkan omelet yang hanya ku cuil sedikit. Pijatannya di kakiku
terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat ia
mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan
televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai
mengangguk terlelap.
Semua itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak,
memprotes, mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi
ia sama sekali tidak mengeluh, tidak membantah . Kesabarannya merusak
segalanya. Makin lama aku makin menyadari kelembutan dalam suaranya --
yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya --
yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan. Aku dibuatnya merasa
bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri,
menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan
kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali
tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku
mengingat lagi pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku
mengulang lagi setiap kalimat yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa
malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya karena sesuatu seremeh itu.
Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan, hobi dan kegemarannya
tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal lain yang
menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan
membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku
ke mana pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan
pertengkaran konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untuk
menyingkirkan pertengkaran itu sementara aku justru memupuk dendam dan
benci padanya. Jadi siapa sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan
ini?
Ketika aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan
pagi dan senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak
memprotes ketika ia memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah
menyediakan bangku di dekat wastafel agar aku tak perlu berdiri saat
menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian bersih untukku dan
bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar dari kamar
mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup. Ketika aku kembali ke
kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali dan
bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang
baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu
cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis
karena terharu.
“Kau tidak ke kantor? ” tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata
ramah pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
“Ini hari Minggu, Pit.”
“Aku sudah sakit selama seminggu ?” bisikku tak percaya.
“Ya,” Idan tersenyum. “ Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku
tidak bisa tenang di kantor memikirkanmu.”
“Ibuku kan di sini.”
“Ya. Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa
meninggalkan pekerjaanku minggu lalu. Maaf.”
Aku menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas
mejaku. Pukul setengah delapan pagi. “Tidak main bola?”
Ia menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas.
“Aku mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di
bangku cadangan.”
Aku tersenyum.
“Dia kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak
gemuk. Tapi, siapa tahu,” ia mengangkat bahu dan tersenyum.
“Kau mau pergi memancing nanti sore?”
Ia menggeleng lagi.
“Kenapa?”
“Aku harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau
kutangkapi terus, mereka bisa punah.”
“Kalau kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada
mereka, ya.”
“ Terima kasih untuk apa?”
Untuk menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya,
batinku. Tapi yang keluar dari mulutku adalah, ”Karena meminjamkanmu
untukku hari ini.”
Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya
lenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau
bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku
sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja
membatalkannya kan?”
Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya
kemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit
Nanti air jerukmu asin.”
“Selamat ulang tahun, Pit.”
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi
ini di kamarku!”
“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari
kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Ayo! Aku
mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!”
Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku.
Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan
berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu
lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.
Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar.
Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan
untukku. Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng
dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.
“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.
“Apa?”
“Hadiahku.”
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu.
Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang
berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah
membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku
berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
“Kau tidak menemukannya?” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam
suaranya.
Aku menggeleng.
“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat raut
wajahku yang tak berubah, menambah.
“Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”
Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga
dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar
bahwa aku kecewa. “Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”
“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan
kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu
seperti hari-hari kemarin.
Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum
pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa
mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah
kotak panjang dengan tutup sel ofan. Setangkai mawar putih. Sesaat
mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah
kotak panjang dengan tutup sel ofan. Setangkai mawar putih. Sesaat
jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika
kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu
di tempat biasa.
Mungkinkah?
Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan temantemanku
yang tak kenal ampun. bersambung........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar