MEMBEDAH BID’AH 2
(Menyoal Tradisi-Tradisi Masyarakat)
Oleh : M. Ali Munif, S.Ag
Ketika tulisan saya muncul di edisi Januari yang lalu, maka tidak sedikit di antara rekan sesama muslim yang kemudian tertarik untuk mengajak diskusi, tukar informasi. Hal ini penting sebab dengan semakin banyak kita memperoleh referensi tentang keagamaan kita, akan semakin luas cakrawala pandang kita terhadap agama Islam yang sempurna ini. Juga dapat menghindarkan diri dari sifat ekslusif dan tertutup, yaitu menganggap pendapat diri sendiri yang paling benar, sementara pendapat orang lain salah. Sikap moderat ini sesunggunya telah diperlihatkan oleh para salafus salihin (para pendahulu dari orang-orang saleh) seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik. Misalkan Syafi’i berpendapat bahwa Qunut itu disunahkan bagi setiap muslim ketika mereka melaksanakan sholat subuh, dengan dasar bahwa “Mencegah suatu datangnya bencana, malapetaka dan bala’ yang akan datang kepada diri seseorang itu lebih baik daripada mengobatinya ketika hal itu sudah terjadi.” Sementara menurut Imam Malik qunut hanya dilakukan pada saat terjadi bala’ bencana, musibah dan pagebluk di sebuah negeri, merujuk perilaku Rasulullah yang berdoa qunut pada saat terjadinya perang Badar yang dahsyat itu.
Kedua imam besar tersebut sebenarnya sama-sama berpijak pada dalil yang sama, hanya saja cara sudut pandangnya yang berbeda. Syafi’i memandang dari maqosidut tasyri’ (tujuan ritual sebuah ibadah) sementara Malik melihat dari tekstual hadis (ritual ibadah semata), yaitu qunut hanya dilakukan di saat keadaan sudah genting. Yang patut kita contoh dari mereka adalah sikap saling menghormati yaitu dikala Syafi’i bertandang ke Maliki maka ketika syafi’i dipersilahkan menjadi imam dia tidak memakai qunut karena menghormati sahabatnya itu sebaliknya ketika Maliki bertandang ke Syafi’i dan ia dipersilahkan menjadi imam, dia memakai qunut untuk menghormati sahabatnya tersebut.
Yang sangat disayangkan, sikap ini kemudian tidak populer di akar rumput. Yang terjadi bahkan hingga kini adalah sikap gontok-gontokan dan merasa paling benar sendiri. Sebenarnya, sudah bukan zamannya lagi kita mempertentangkan masalah-masalah khilafiyah yang tidak krusial ini. Hanya akan menghabiskan energi dan pikiran, sementara negera lain sudah memikirkan bagaiaman cara hidup di planet Mars kita masih berseteru utehek ublek di masalah qunut dan tahlil.
Pernahkan kita tahu bahwa dari sekitar 6 ribuan ayat Alqur’an, fikih (masalah sholat, zakat, haji, puasa, waris, zina, kifarat dsb) hanya menempati porsi 3 % (kurang lebih hanya 200 ayat) selebihnya ayat-ayat Alqur’an justeru lebih banyak membahasa masalah alam semesta, sejarah masa lalu dan yang akan datang sertqa akhlak budi pekerti. “Mengapa kalian tidak berpikir wahai orang-orang yang memiliki akal” demikian dalam banyak tempat Alqur’an senantiasa menggelitik kita.
Berbicara masalah bid’ah memang selalu menarik, pun ketika saya diundang di sebuah acara pengetan 40 hari meninggalnya seseorang di sebuah kota A. Ketika itu di hadapan penulis terdapat sebuah nampan lengkap dengan ubo rampe sesajen berupa tembakau (mbako), sirih (suruh), gambir, injet, (ketiga komponen itu biasa disebut kinang) bunga dan setangkep pisang raja. Melihat hal itu lalu saya bertanya kepada salah satu sesepuh yang hadir, “Nuwun sewu pak, ini sajen ini maksudnya apa?” ternyata dia juga tidak mengerti dan tidak dapat memberikan penjelasan dengan seksama. Hanya saja ia melakukan hal itu karena sudah turun temurun dari kakek buyutnya dahulu. Hal ini pula yang kadang sering terjadi diantara kita saling membid’ahkan, khurofat, tabdzir dsb karena tidak adanya transfer pengetahuan (pemahaman) tentang hal-hal di sekitar kita.
Sampailah pada acara inti, maka saya pun berusaha mengurai ayat Allah yang ada di depan mata saya itu. Sesungguhnya tradisi 7 hari, 40, 100, dan 1000 hari itu bukan berasal dari tradisi Islam. Tetapi mengapa hal itu masih dipakai sampai kini, itulah yang harus kita kaji malam ini. Pertama : untuk membahasnya maka kita harus berangkat dari kata pengetan (memperingati) berasal dari kata INGAT. Ingat di sini tentu saja ingat akan fenomena MATI, sebagaimana yang disabdakan Rasululloh “Cukup bagi kalian mati sebagai pelajaran”. (kita selama ini terjebak kepada pengertian bahwa MATI itu adalah ketika ada orang meninggal dunia, di mana tubuhnya sudah kaku tidak lagi dapat bergerak- tentu saja ini sangat absurd). Maka ketika kita ditanya apa yang sesungguhnya paling dekat pada diri manusia? Jawabannya adalah kematian. KEMATIAN sesungguhya adalah ayat Allah yang oleh karenanya tidak akan lekang kapan pun dan di manapun ia akan DIINGAT. Untuk menjembatani FENOMENA AYAT ALLOH ini maka dibuatlah acara 7 hari. Dengan maksud agar yang hadir senantiasa ingat akan MATI. Lha wong dibuat acara ini saja masih banyak di antara kita yang beum ingat MATI, seperti halnya sholat yang dijadwalkan 5 x dalam sehari saja juga masih banyak orang yang tidak SHOLAT apalagi tidak dibuat TIMING (jadwal)?
Disamping itu, teryata menurut ilmu psikologi kontemporer, seseorang yang ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintai, akan terjadi gejolak dalam jiwanya. There’s something missing in their soul -ada sesuatu yang hilang dari relung jiwa mereka. (fenomena orang kesurupan sesungguhnya juga bermuara dari sini yaitu kekosongan jiwa) Oleh karena itu maka mereka membutuhkan pendampingan selama beberapa waktu, bahkan hingga memakan waktu 3 tahun (1000 hari). Tradisi 7 hari tidak saja bermanfaat bagi para tetangga yang dapat pelajaran daria kematian itu, tetapi juga sangat bermanfaat bagi keluarga yang ditinggalkan yaitu mereka tidak merasa sendirian menanggung kesedihan yang mendalam tersebut. Ada tetangga,sanak saudara, handai taulan yang menghibur mereka.
Kedua : makna tembakau (mbako) berasal dari kata B. Arab : Baqo’ artinya langgeng. Ini mempunyai maksud bahwa orang yang sudah meninggal dunia itu telah memasuki alam kelanggengan,alam keabadian. Jika ia berbekal amal saleh maka kebaikan yang akan ia terima, selamanya. Sebaliknya jika ia berbekal dengan maksiat dan ankara murka maka siksa yang akan ia terima selamanya.
Ketiga : makna sirih (suruh) berasal dari kata B. Arab : shuroh artinya rupa/gambar. Mengertilah sesungguhnya jika manusia menghadap Allah, Dia tidak melihat pangkat, jabatan, kedudukan dan harta seseorang, melainkan Dia hanya melihat kepada Hati dan amalnya. Rasululloh saw bersabda “Innalloha laa yandhuru ilaa shuwarikum walakin yandhuru ilaa quluubikum wa a’maalikum” – Sesungunya Alloh tidakmelihat rupamu, melainkan Dia melihat kepada hati dan aml perbuatanmu”.
Keempat : makna gambir berasal dari kata B. Arab : ghomaro artinya : tergenangi. Jika orang menghadap Alloh dengan amal kebaikan ia akan tergenangi balasan kebaikan yang melimpah di sisi-Nya demikian juga sebaliknya. Sesungguhnya orang yang berada di dalam kubur itu laksana orang yang tergenangi lautan, tidak ada yang dapat menolongnya kecuali doa ahli waris dan saudaranya.
Kelima : makna injet, berasal dari kata B. Arab : najatun (najat) artinya : selamat. Maka orang yang datang kepada Alloh dengan Hati yang salim (qolbin salim) ia akan selamat. Orang yang menderita ketika di kuburnya, insya Alloh berkat doa dari para ahli waris dan saudaranya yang muslim ia akan diselamatkan oleh Allah, dengan mengampuni dosa-dosanya.
Kelima : makna kembang adalah harum. Orang yang meninggal dengan kebaikan namanya akan harum di mata para tetangga, harum di mata Alloh. Oleh karenanya pumpung padang kalangane pumpung jembar kalangane ayo podho sorak hore (dunia adalah ladang amal sholeh yang hasilnya akan dipetik kelak di hari kiamat)
Keenam : makna pisang raja. Orang yang mati dengan berbekal semua di atas tadi maka dia akan menjadi laksana raja di dalam singgasananya yang dilayani oleh para dayang dan cantriknya. Bukankah hal ini juga dilukiskan oleh Allah dalam Al Qur’an tentang penghuni surga dengan para pelayannya dan hidangan yang nikmat tiada tara?
Ketujuh : amplop. Ketika sampai di sini maka saya kemudian bertanya lha yang ini apa maksudnya? Maka serentak jama’ah berkata, “Lha yang itu untuk Panjenengan pak” lho kok untuk saya? Lha itu syarat pak? Sedekahnya yang meninggal untuk panjenengan, harus diterima! Wee.....
Ketika seluruh lambang itu saya jelaskan satu persatu baru mereka tahu, sambil manggut-manggut. Mereka berkata, “Lha yang ini cocok! Tidak serta menuduh syirik, bid’ah. Wah sampeyan masih muda kok malah lebih ngerti daripada kita yang tua-tua” (di sinilah sebenarnya perlunya HIKMAH dalam mengajak) maka saya jawab “Sesungunya leluhur kita bermaksud memberikan PELAJARAN kepada anak cucunya lewat simbol yang terejawantahkan kepada SAJEN. Maksudnya tentu saja bukannya itu semua untuk simbahmu lee..kanggo susuran, yen malaikat nyedak men disemprot nganggo susure mbahmu kuwi.” Jadi ketika hadirin melihat sajen ini bukannya yang terbayang kemudian nanti anda akan mengambil mbako, kinang dan pisangnya, tetapi lebih kepada ada pelajaran apa di balik itu semua? Apalagi njenengan beranggapan bahwa itu SAJEN adalah persyaratan yang harus diadakan. Itu yang tidak boleh.
Lha kalau sajen itu tidak diadakan gimana pak? Ya tidak apa-apa, wong itu adalah lambang dari orang tua kita dahulu supaya kita mengerti AJARAN yang tersisipkan lewat simbol tersebut. Wallohu a’lam bis showab. Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar